Rabu, 06 Juni 2012

Landasan Hukum Perbankan Syariah



oleh : Ahmad Jiwa
Prakarsa tentang Perbankan Syariah di Indonesia sudah sejak lama, yakni di tahun 1980-an, ketika beberapa aktivis muda islam melakukan kajian tentang ekonomi syariah, merekomendasi urgensi perbankan syariah, bahkan mempraktekannya dalam skala yang terbatas,  antara lain melalui bait a-tamwil salman, Bandung. Upaya yang lebih intensif dilakukan pada tahun 1990-an, yang mencapai puncaknya pada musyawarah nasional IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta, 22-25 agustus 1990 yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian Perbankan Syariah di Indonesia yang dikenal dengan tim perbankan MUI. yang kemudian hasil kerja tim ini adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia pada 1 November 1990 dengan modal awal Rp 106 miliar lebih. Beberapa tahun kemudian, Bank Syariah bermunculan, seperti Bank Syariah Mandiri, BNI syariah, Bank Mega Syariah, dan lain sebagainya.[1]
Perkembangan perbankan syariah belum diimbangi dengan kemajuan di bidang hukum perbankan syariah, dengan tidak adanya undang-undang (UU) yang secara spesifik mengelaborasi kekhusussan perbankan sayariah. Jika dihitung rentan waktu antara pendirian perbankan syariah (TAHUN 1980)dengan pembentukan UU No.21 tahun 2008 tentang perbankan syariah membutuhkan waktu sekitar 28 tahun. Jadi pengesahan UU perbankan syariah oleh DPR, 17 juni 2008 dan pengundangannya oleh presiden SBY, 16 juli 2008, dapat dikatakan sangat telat. Sebab, dizaman penjajahan saja pemerintahan colonial belanda sudah mengakomodasikan sebagian aspirasi masyarakat muslim dalm bidang ekonomi syariah, seperti tercermin dari ordonasi riba tahun 1938. Ordonasi riba ini dikeluarkan untuk mencgah praktik riba dikalangan masyarakat, antara lain dengan memberikan kewenangan kepada hakim untuk membatalkan perjanjian yang dianggap memberatkan salah satu pihak, atau memparingan beban pihak yang merasa diberatkan itu(pasal 2 ayat 14 ordonasi riba 1938).[2]
Pengesahan undang-undang perbankan syariah di DPR dicapai dengan suara hampir bulat, karena 9 dari 10 fraksi di DPR menyetujui pengesahan UU perbankan syariah. Pengesahan UU perbankan syariah telah melahirkan secerah harapan dalam sejarah perbankan di Indonesia. Dengan UU perbankan syariah, eksistensi perbankan syariah sebagai pelaku ekonomi nasional mendapatkan pijakan yang kuat. Selama ini, secara hukum, keberadaan perbankan syariah cukup sumir, karena pengoprasiannya tidak berpijak pada UU yang secara khusus mengatur perbankan syariah.
A.      Urgensi UU Perbankan Syariah
UU perbankan syariah sangat diperlukan, karena beberapa alasan, yaitu: pertama sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakkat yang adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, perlu dikembangkan system ekonomi yang berlandaskan system ekonomi.
Kedua, bahkan kebutuhan Indonesia akan jasa – jasa Perbankan Syariah semakin meningkat, seiring kesadaran masyarakat muslim dan bahkan non muslim bahwa jasa-jasa Perbankan Syariah lebih sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat.
Ketiga, bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan di banding dengan perbankan konvensional sehingga memerlukan pengaturan yang khusus.
Keempat, bahwa pengaturan mengenai Perbankan Syariah di Dalam UU No. 7  Tahun 1992 tentang perbankan[3] sebagaimana telah di ubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan belum specifik sehingga perlu di atur secara khusus dalam suatu  undang-undang tersendiri.
Kelima, perbankan syariah sebagai salah satu system perbankan nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan konstribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional.
B.      Hierarki Hukum Nasional
Dalam pasal 7 ayat (1) UU No 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, hierarki hukum di Indonesia adalah(1) undang-undang dasar Negara RI tahun 1945(UUD), (2) undang-undang (UU), (3)peraturan pemerintah pengganti UU (perpu), (4) peraturan pemerintah (pp), (5) 0eraturan presiden (perpres), dan (6) peraturan daerah (perda).[4]
Peratuaran yang berada di urutan teratas adalah peratuaran perundang-undangan yang lebih tinggi dari yang berada di bawah. Oleh karena itu, peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya (penjelasan pasal 7 ayat 5 UU No. 10 tahun 2004).
C.      Perbankan Syariah Dalam UUD
Dari sisi konstitusi atau UUD, persoalan perbankan syariah sudah mendapatkan temapat, terutama dari pembukaan UUD  bahwa NKRI yang berkedaulatan rakyat berdasarkan kepada ketuhanan yang maha esa. Ini berarti aspirasi masyarakat yang berbasiskan ketuhanan yang maha esa harus diakomodasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dukungan konstitusi terhadap perbankan syariah dapat dilihat dalam pasal 33 ayat (4) UUD yang berbunyi: “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Dengan dukungan konstitusi di atas, maka seharusnya bangsa Indonesia sujah jauh-jauh hari mengesahkan dan mengundang-undangkan UU perbankan syariah. Negara ini dapat dikatakan terlambat dalam mengadopsi UU perbankan syariah. Mungkin ini merupakan salah satu penyebab kenapa perbankan syariah di Indonesia masih lambat dan tertinggal jauh dibandingkan Negara tetangga seperti Malaysia yang merupakan Negara islam.
D.     Perbankan Syariah Dalam UU
Sebelum UU Perbankan Syariah disahkan, posisi perbankan syariah di Indonesia cukup mengambang, kaarena didukung oleh konstitusi, namun tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Memang di Indonesia sudah ada UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagai mana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998. Namun dalam UU ini ketentuan tentang perbankan syariah sangat minim sehingga tidak bisa menjadi jawaban terhadap keunikan dan kekhususan perbankan syariah.
Pasal 6 huruf m UU No.7 Tahun 1992 hanya menyebutkan bahwa bank umum dapat (m). menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang di tetapkan dalam peraturan pemerintah. Dalam UU NO.10 Tahun 1998 tentang perbankan ketentuan tentang perbankan syariah di nyatakan lebih tegas lagi, se[erti terlihat dalam pasal 1 angka 3 dan 4 bahwa (3) bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;(4)bank perkreditan rakyat (bpr) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dalam pasal 1 angka 13 UU NO.10 Tahun 1998 prinsip syariah di jelaskan sebagai prinsip aturanperjanjian berdasarkan hukum islam seperti pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah),prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang di sewa dari pihak bank dan oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Kelemahan UU NO.10 Tahun 1998 adalah UU ini mengatur ketentuan yang berlaku untuk semua bank baik bank konvensional maupun syariah oleh karena itu UU NO.10 Tahun 1998 meracukan batasan antara bank syariah dengan konvensional. UU Perbankan Syariah yang di sahkan pada 17 juni 2008 di rancang dan di bahas di DPR selama tiga tahun ini berarti pembahasan rancangan UU Perbangkan Syariah memakan waktu yang sangat lama.
Dalam UU Perbangkan Syariah diatur jenis usaha,ketentuan pelaksanaan syariah,kelayakan usaha,penyaluran dana,dan larangan bagi bank syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari bank umum konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan operasional perbankan syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsure-unsur riba, maisir, ghara, haram, dan lazim.
Sebagai UU yang khusus mengatur perbankan syariah, dalam UU ini diatur mengenai masalah keputusan syariah(syariah compliance) yang kewenangannya berada pada majlis ulama Indonesia (MUI) yang direpresenctasikan melalui dewan pengawas syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing bank syariah dan UUS. Untuk menindak lanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI kedalam PBI, di dalam internal bank Indonesia di bentuk komite perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan bank Indonesia, departemen agama, dan unsure masyarakat yang komposisinya berimbang.
Penyelesaian sengketa yang timbul pada perbankan syariah, dilakukan melalui pengadilan di lingkungan peradilan agama. Di samping itu penyelasaian sengketa bisa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbritase, atau melalui pengadilan di lingkungan peradilan umum sesuai dengan akad yang talah di sepakati oleh para pihak. Untuk menerapkan substansi UU Perbankan Syariah ini, maka pengaturan terhadap UUS yang secara koorperasi masih berada dalam satu entitas dengan bank umum konvensional, di masa depan, apabila telah berada dalam kondisi dan jangka waktu teretentu di wajibkan untuk memisahkan UUS menjadi bank umum syariah dengan memenuhi tata cara dan persyaratan yang ditetapkan dengan PBI.
E.      Perbankan Syariah Dalam Peraturan Pemerintah
Adaa empat peraturan pemerintah yang mengatur tentang perbankan Syariah, yaitu : pertama PP No.70 Tahun 1992 tentang bank umum[5] dan perubahan-perubahanya. Hal penting dari PP ini berkaitan dengan bank syariah, sebagaimana tertera dalam pasal 2 PP No.38 Tahun 1998 tentang perubahan atas PP No.70 1992 adalah tentang modal disetor untuk mendirikan bank umum dan bank campuran yang sekurang kurangnya sebesar Rp. 3 triliun.
Kedua, PP no 71 tahun 1992 tentang BPR. Dalam PP ini, ketentuan tentang BPR hanya terdapat dalam pasal 6 ayat 2 bahwa : bank perkreditan rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan perinsip bagi hasil, harus secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil dalam rancangan anggaran dasar dan rancangan kerjanya.
Ketiga, PP No 72 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Inti dari dari PP No.72 tahun1992 ini bahwa bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil haRus memerhatikan prinsip-prinsip Syariah (pasal 2) dan kesepakatan yang di tuangkan dalam perjanjian tertulis antara para pihak ( pasal 3).
Keempat, PP No.30 tahun 1999 adalah tentang pencambutan No.70 tahun1992 tentang bank umum sebagaimana telah beberapa kali di ubah terakhir dengan PP No.73 tahun1968, PP No.71 tahun 1992 tentang BPR dan PP No.72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Dengan adanya PP No.30 tahun 1999 maka semua regulasi yang mengatur perbankan secara umum dan perbankan syariah secara khusus tidak lagi melalui PP maelainkan melalui PBI. Kekuasaan untuk membina dan mengawasi bank selanjutnya beralih dari pemerintah melalui departemen keuangan ke bank Indonesia.
F.       Perbankan Syariah Dalam Peraturan Bank Indonesia
Peraturan bank Indonesia (PBI) adalah peraturan yang dikeluarkan oleh bank Indonesia untuk mengawasi dan membina semua bank yang berbadan hukum Indonesia atau beroperasi di Indonesia. PBI yang lahir sebelum 1 november 2004 tetap mempunyai kekuatan hukum. Seperti dalam pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa peraturan yang dikeluarkan lembaga Negara lain, seperti Bank Indonesia, yang bersifat mengatur mempunyai kekuatan hukum selama diperintahkan oleh perundang-undangan, yang dalam hal ini oleh UUD, UU, Perpu, PP, dan perpres. Dengan begitu PBI tidak boleh berdiri sendiri, melainkan harus merujuk atau melaksanakan perintah salah satu hierarki hukum di atas.
PBI yang lahir setelah 1 november 2004 harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam UU No. 10 tahun 2004. Karena PBI tidak termasuk dalam hierarki hukum nasional. Oleh karena itu, proses kelahirannya, PBI harus ada perintah dari peraturan perundang-undanganyang disebutkan dalam pasal 7, yaitu UUD, perpu, UU, PP, dan Perpres(pasal 7 ayat 4 UU No. 10 Tahun 2004)
Pengesahan UU Perbankan Syariah memberikan kekuatan atas keberadaan PBI dalam mengatur perbankan syariah, karena diperintahkan oleh UU yang secara khusus mengatur perbankan syariah.
Dalam UU Perbankan Syariah banyak pasal-pasal yang memerintahkan “ketentuan lebih lanjut mengenai hal tertentu diatur dalam PBI.” Terdapat 21 ketentuan  dalam UU Perbankan Syariah yang memerintahkan pengaturan lebih lanjut hal tertentu  dalam PBI.
G.     Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Salah satu sumber rujukan hukum tentang perbankan syariah adlah fatwa MUI yang biasa digodog dan dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional MUI (DSN MUI). Dalam system ketatanegaraan Indonesia fatwa MUI bukan merupakan hukum positif, sehingga hanya mengikat masyarakat muslim secara personal saja. Negara tidak berhak mengeluarkan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar fatwa tadi.
Dengan adanya UU perbankan syariah, maka fatwa MUI juga mempunyai pijakan. Hal ini terjadi karena UU perbankan syariah menentukan bahwa perincian mengenai prinsip syariah difatwakan oleh MUI, yang kemudian diupayakan menjadi PBI setelah melalui penggodogan di komite perbankan syariah yang dibantu oleh bank Indonesia, seperti terlihat dalam pasal 26 UU perbankan syariah bahwa: (1) kegiatan usaha perbankan syariah dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada prinsip syariah; (2) prinsip syariah itu difatwakan oleh MUI; (3) fatwa MUI dituangkan dalam PBI; (4) dalam rangka penyusunan PBI, bank Indonesia membentuk komite perbankan syariah.
Ketentuan di atas menunjukan bahwa kelak Fatwa MUI tentang perbankan syariah akan lebih berdaya guna, karena akan dituangkan menjadi PBI itu sendiri, yang kemudian dapat menjadi hukum positif yang diakui keabsahannya dalam system ketatanegaraan.



Daftar pustaka
Himpunan peraturan perundang-undangan replubik Indonesia, addenda & corrigeada, (Jakarta: PT Ichtiar baru van hoeve)
Peri umar farouk, sejarah perkembangan hukum perbankan syariah di indonesia (http//omperi.wikidot.com/sejarah-hukum-perbankan-syariah-di Indonesia)
Zubairi hasan, Undang Undang Perbankan Syariah titik temu hukum islam dan hukum nasional(Jakarta; rajawali pers, 2009)
UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan dimuat dalam lembaran Negara tahun 1992 No. 31 dan Tambahan lembaran Negara No. 3472
PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum dikutip dari Lembaran Negara Tahun 1992 N0. 117 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3503


[1] Peri Umar Farouk, sejarah perbankan hukum perbankan syariah  di Indonesia,(http//omperi.wikidot.com/sejarah-hukum-perbankan-syariah-di indonesia)
[2] Himpunan peraturan perundang-undangan replubik Indonesia, addenda & corrigeada, (Jakarta: PT Ichtiar baru van hoeve), halaman 1
[3] UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan dimuat dalam lembaran Negara tahun 1992 No. 31 dan Tambahan lembaran Negara No. 3472
[4] UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan perundang-undangan dikutip dari lembaran Negara tahun 2004 No. 53 sebagai di muat dalam http://www.parlemen.net/site/docs/UU_NO_10_2004.pdf
[5] PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum dikutip dari Lembaran Negara Tahun 1992 N0. 117 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3503

1 komentar: