oleh : Ahmad Jiwa
Prakarsa tentang Perbankan
Syariah di Indonesia sudah sejak lama, yakni di tahun 1980-an, ketika beberapa
aktivis muda islam melakukan kajian tentang ekonomi syariah, merekomendasi
urgensi perbankan syariah, bahkan mempraktekannya dalam skala yang
terbatas, antara lain melalui bait
a-tamwil salman, Bandung. Upaya yang lebih intensif dilakukan pada tahun
1990-an, yang mencapai puncaknya pada musyawarah nasional IV Majelis Ulama Indonesia
(MUI) di Jakarta, 22-25 agustus 1990 yang menghasilkan amanat bagi pembentukan
kelompok kerja pendirian Perbankan Syariah di Indonesia yang dikenal dengan tim
perbankan MUI. yang kemudian hasil kerja tim ini adalah berdirinya PT Bank Muamalat
Indonesia pada 1 November 1990 dengan modal awal Rp 106 miliar lebih. Beberapa
tahun kemudian, Bank Syariah bermunculan, seperti Bank Syariah Mandiri, BNI
syariah, Bank Mega Syariah, dan lain sebagainya.[1]
Perkembangan perbankan
syariah belum diimbangi dengan kemajuan di bidang hukum perbankan syariah,
dengan tidak adanya undang-undang (UU) yang secara spesifik mengelaborasi
kekhusussan perbankan sayariah. Jika dihitung rentan waktu antara pendirian
perbankan syariah (TAHUN 1980)dengan pembentukan UU No.21 tahun 2008 tentang
perbankan syariah membutuhkan waktu sekitar 28 tahun. Jadi pengesahan UU
perbankan syariah oleh DPR, 17 juni 2008 dan pengundangannya oleh presiden SBY,
16 juli 2008, dapat dikatakan sangat telat. Sebab, dizaman penjajahan saja pemerintahan
colonial belanda sudah mengakomodasikan sebagian aspirasi masyarakat muslim
dalm bidang ekonomi syariah, seperti tercermin dari ordonasi riba tahun 1938.
Ordonasi riba ini dikeluarkan untuk mencgah praktik riba dikalangan masyarakat,
antara lain dengan memberikan kewenangan kepada hakim untuk membatalkan
perjanjian yang dianggap memberatkan salah satu pihak, atau memparingan beban
pihak yang merasa diberatkan itu(pasal 2 ayat 14 ordonasi riba 1938).[2]
Pengesahan undang-undang
perbankan syariah di DPR dicapai dengan suara hampir bulat, karena 9 dari 10
fraksi di DPR menyetujui pengesahan UU perbankan syariah. Pengesahan UU
perbankan syariah telah melahirkan secerah harapan dalam sejarah perbankan di
Indonesia. Dengan UU perbankan syariah, eksistensi perbankan syariah sebagai
pelaku ekonomi nasional mendapatkan pijakan yang kuat. Selama ini, secara
hukum, keberadaan perbankan syariah cukup sumir, karena pengoprasiannya tidak
berpijak pada UU yang secara khusus mengatur perbankan syariah.
A. Urgensi UU Perbankan
Syariah
UU perbankan syariah
sangat diperlukan, karena beberapa alasan, yaitu: pertama sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk
mencapai terciptanya masyarakkat yang adil dan makmur berdasarkan demokrasi
ekonomi, perlu dikembangkan system ekonomi yang berlandaskan system ekonomi.
Kedua, bahkan kebutuhan
Indonesia akan jasa – jasa Perbankan Syariah semakin meningkat, seiring
kesadaran masyarakat muslim dan bahkan non muslim bahwa jasa-jasa Perbankan
Syariah lebih sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat.
Ketiga, bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan di banding dengan perbankan
konvensional sehingga memerlukan pengaturan yang khusus.
Keempat, bahwa pengaturan mengenai Perbankan Syariah di Dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan[3]
sebagaimana telah di ubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan belum
specifik sehingga perlu di atur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri.
Kelima, perbankan syariah
sebagai salah satu system perbankan nasional memerlukan berbagai sarana
pendukung agar dapat memberikan konstribusi yang maksimum bagi pengembangan
ekonomi nasional.
B. Hierarki Hukum
Nasional
Dalam pasal 7 ayat (1) UU
No 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, hierarki
hukum di Indonesia adalah(1) undang-undang dasar Negara RI tahun 1945(UUD), (2)
undang-undang (UU), (3)peraturan pemerintah pengganti UU (perpu), (4) peraturan
pemerintah (pp), (5) 0eraturan presiden (perpres), dan (6) peraturan daerah
(perda).[4]
Peratuaran yang berada di
urutan teratas adalah peratuaran perundang-undangan yang lebih tinggi dari yang
berada di bawah. Oleh karena itu, peraturan yang berada di bawah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya
(penjelasan pasal 7 ayat 5 UU No. 10 tahun 2004).
C. Perbankan Syariah
Dalam UUD
Dari sisi konstitusi atau
UUD, persoalan perbankan syariah sudah mendapatkan temapat, terutama dari
pembukaan UUD bahwa NKRI yang
berkedaulatan rakyat berdasarkan kepada ketuhanan yang maha esa. Ini berarti
aspirasi masyarakat yang berbasiskan ketuhanan yang maha esa harus
diakomodasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dukungan konstitusi
terhadap perbankan syariah dapat dilihat dalam pasal 33 ayat (4) UUD yang
berbunyi: “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar asas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional.”
Dengan dukungan
konstitusi di atas, maka seharusnya bangsa Indonesia sujah jauh-jauh hari
mengesahkan dan mengundang-undangkan UU perbankan syariah. Negara ini dapat
dikatakan terlambat dalam mengadopsi UU perbankan syariah. Mungkin ini
merupakan salah satu penyebab kenapa perbankan syariah di Indonesia masih
lambat dan tertinggal jauh dibandingkan Negara tetangga seperti Malaysia yang
merupakan Negara islam.
D. Perbankan Syariah
Dalam UU
Sebelum UU Perbankan
Syariah disahkan, posisi perbankan syariah di Indonesia cukup mengambang,
kaarena didukung oleh konstitusi, namun tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berada di bawahnya. Memang di Indonesia sudah ada UU
No.7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagai mana telah diubah dengan UU No. 10
Tahun 1998. Namun dalam UU ini ketentuan tentang perbankan syariah sangat minim
sehingga tidak bisa menjadi jawaban terhadap keunikan dan kekhususan perbankan
syariah.
Pasal 6 huruf m UU No.7
Tahun 1992 hanya menyebutkan bahwa bank umum dapat (m). menyediakan pembiayaan
bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang di
tetapkan dalam peraturan pemerintah. Dalam UU NO.10 Tahun 1998 tentang
perbankan ketentuan tentang perbankan syariah di nyatakan lebih tegas lagi,
se[erti terlihat dalam pasal 1 angka 3 dan 4 bahwa (3) bank umum adalah bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran;(4)bank perkreditan rakyat (bpr) adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dalam pasal 1
angka 13 UU NO.10 Tahun 1998 prinsip syariah di jelaskan sebagai prinsip aturanperjanjian
berdasarkan hukum islam seperti pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musyarakah),prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah),
atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan
(ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang di
sewa dari pihak bank dan oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Kelemahan UU NO.10 Tahun
1998 adalah UU ini mengatur ketentuan yang berlaku untuk semua bank baik bank
konvensional maupun syariah oleh karena itu UU NO.10 Tahun 1998 meracukan
batasan antara bank syariah dengan konvensional. UU Perbankan Syariah yang di
sahkan pada 17 juni 2008 di rancang dan di bahas di DPR selama tiga tahun ini
berarti pembahasan rancangan UU Perbangkan Syariah memakan waktu yang sangat
lama.
Dalam UU Perbangkan
Syariah diatur jenis usaha,ketentuan pelaksanaan syariah,kelayakan
usaha,penyaluran dana,dan larangan bagi bank syariah maupun UUS yang merupakan
bagian dari bank umum konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan
pada masyarakat yang masih meragukan operasional perbankan syariah selama ini,
diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsure-unsur riba, maisir, ghara, haram, dan lazim.
Sebagai UU yang khusus
mengatur perbankan syariah, dalam UU ini diatur mengenai masalah keputusan
syariah(syariah compliance) yang kewenangannya berada pada majlis ulama
Indonesia (MUI) yang direpresenctasikan melalui dewan pengawas syariah (DPS)
yang harus dibentuk pada masing-masing bank syariah dan UUS. Untuk menindak
lanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI kedalam PBI, di dalam internal
bank Indonesia di bentuk komite perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri
atas perwakilan bank Indonesia, departemen agama, dan unsure masyarakat yang
komposisinya berimbang.
Penyelesaian sengketa
yang timbul pada perbankan syariah, dilakukan melalui pengadilan di lingkungan
peradilan agama. Di samping itu penyelasaian sengketa bisa melalui musyawarah,
mediasi perbankan, lembaga arbritase, atau melalui pengadilan di lingkungan
peradilan umum sesuai dengan akad yang talah di sepakati oleh para pihak. Untuk
menerapkan substansi UU Perbankan Syariah ini, maka pengaturan terhadap UUS
yang secara koorperasi masih berada dalam satu entitas dengan bank umum
konvensional, di masa depan, apabila telah berada dalam kondisi dan jangka
waktu teretentu di wajibkan untuk memisahkan UUS menjadi bank umum syariah
dengan memenuhi tata cara dan persyaratan yang ditetapkan dengan PBI.
E. Perbankan
Syariah Dalam Peraturan Pemerintah
Adaa empat peraturan
pemerintah yang mengatur tentang perbankan Syariah, yaitu : pertama PP No.70
Tahun 1992 tentang bank umum[5]
dan perubahan-perubahanya. Hal penting dari PP ini berkaitan dengan bank
syariah, sebagaimana tertera dalam pasal 2 PP No.38 Tahun 1998 tentang
perubahan atas PP No.70 1992 adalah tentang modal disetor untuk mendirikan bank
umum dan bank campuran yang sekurang kurangnya sebesar Rp. 3 triliun.
Kedua, PP no 71 tahun
1992 tentang BPR. Dalam PP ini, ketentuan tentang BPR hanya terdapat dalam
pasal 6 ayat 2 bahwa : bank perkreditan rakyat yang akan melakukan kegiatan
usaha berdasarkan perinsip bagi hasil, harus secara tegas mencantumkan kegiatan
usaha bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil dalam rancangan
anggaran dasar dan rancangan kerjanya.
Ketiga, PP No 72 1992
tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Inti dari dari PP No.72 tahun1992
ini bahwa bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil haRus memerhatikan
prinsip-prinsip Syariah (pasal 2) dan kesepakatan yang di tuangkan dalam
perjanjian tertulis antara para pihak ( pasal 3).
Keempat, PP No.30 tahun
1999 adalah tentang pencambutan No.70 tahun1992 tentang bank umum sebagaimana
telah beberapa kali di ubah terakhir dengan PP No.73 tahun1968, PP No.71 tahun
1992 tentang BPR dan PP No.72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi
hasil. Dengan adanya PP No.30 tahun 1999 maka semua regulasi yang mengatur
perbankan secara umum dan perbankan syariah secara khusus tidak lagi melalui PP
maelainkan melalui PBI. Kekuasaan untuk membina dan mengawasi bank selanjutnya
beralih dari pemerintah melalui departemen keuangan ke bank Indonesia.
F. Perbankan Syariah
Dalam Peraturan Bank Indonesia
Peraturan bank Indonesia
(PBI) adalah peraturan yang dikeluarkan oleh bank Indonesia untuk mengawasi dan
membina semua bank yang berbadan hukum Indonesia atau beroperasi di Indonesia.
PBI yang lahir sebelum 1 november 2004 tetap mempunyai kekuatan hukum. Seperti
dalam pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa peraturan
yang dikeluarkan lembaga Negara lain, seperti Bank Indonesia, yang bersifat
mengatur mempunyai kekuatan hukum selama diperintahkan oleh perundang-undangan,
yang dalam hal ini oleh UUD, UU, Perpu, PP, dan perpres. Dengan begitu PBI
tidak boleh berdiri sendiri, melainkan harus merujuk atau melaksanakan perintah
salah satu hierarki hukum di atas.
PBI yang lahir setelah 1
november 2004 harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam UU No. 10 tahun 2004.
Karena PBI tidak termasuk dalam hierarki hukum nasional. Oleh karena itu,
proses kelahirannya, PBI harus ada perintah dari peraturan
perundang-undanganyang disebutkan dalam pasal 7, yaitu UUD, perpu, UU, PP, dan
Perpres(pasal 7 ayat 4 UU No. 10 Tahun 2004)
Pengesahan UU Perbankan
Syariah memberikan kekuatan atas keberadaan PBI dalam mengatur perbankan
syariah, karena diperintahkan oleh UU yang secara khusus mengatur perbankan
syariah.
Dalam UU Perbankan
Syariah banyak pasal-pasal yang memerintahkan “ketentuan lebih lanjut mengenai
hal tertentu diatur dalam PBI.” Terdapat 21 ketentuan dalam UU Perbankan Syariah yang memerintahkan
pengaturan lebih lanjut hal tertentu
dalam PBI.
G. Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI)
Salah satu sumber rujukan
hukum tentang perbankan syariah adlah fatwa MUI yang biasa digodog dan
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional MUI (DSN MUI). Dalam system
ketatanegaraan Indonesia fatwa MUI bukan merupakan hukum positif, sehingga hanya
mengikat masyarakat muslim secara personal saja. Negara tidak berhak
mengeluarkan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar fatwa tadi.
Dengan adanya UU
perbankan syariah, maka fatwa MUI juga mempunyai pijakan. Hal ini terjadi
karena UU perbankan syariah menentukan bahwa perincian mengenai prinsip syariah
difatwakan oleh MUI, yang kemudian diupayakan menjadi PBI setelah melalui
penggodogan di komite perbankan syariah yang dibantu oleh bank Indonesia,
seperti terlihat dalam pasal 26 UU perbankan syariah bahwa: (1) kegiatan usaha
perbankan syariah dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada prinsip
syariah; (2) prinsip syariah itu difatwakan oleh MUI; (3) fatwa MUI dituangkan
dalam PBI; (4) dalam rangka penyusunan PBI, bank Indonesia membentuk komite
perbankan syariah.
Ketentuan di atas
menunjukan bahwa kelak Fatwa MUI tentang perbankan syariah akan lebih berdaya
guna, karena akan dituangkan menjadi PBI itu sendiri, yang kemudian dapat
menjadi hukum positif yang diakui keabsahannya dalam system ketatanegaraan.
Daftar pustaka
Himpunan
peraturan perundang-undangan replubik Indonesia, addenda & corrigeada,
(Jakarta: PT Ichtiar baru van hoeve)
Peri umar
farouk, sejarah perkembangan hukum perbankan syariah di indonesia (http//omperi.wikidot.com/sejarah-hukum-perbankan-syariah-di
Indonesia)
Zubairi hasan, Undang Undang Perbankan Syariah titik temu
hukum islam dan hukum nasional(Jakarta; rajawali pers, 2009)
UU No. 7 Tahun
1992 tentang perbankan dimuat dalam lembaran Negara tahun 1992 No. 31 dan
Tambahan lembaran Negara No. 3472
PP No. 70 Tahun
1992 tentang Bank Umum dikutip dari Lembaran Negara Tahun 1992 N0. 117 dan
Tambahan Lembaran Negara No. 3503
[1]
Peri Umar Farouk, sejarah perbankan hukum perbankan syariah di
Indonesia,(http//omperi.wikidot.com/sejarah-hukum-perbankan-syariah-di
indonesia)
[2]
Himpunan peraturan perundang-undangan replubik Indonesia, addenda &
corrigeada, (Jakarta: PT Ichtiar baru van hoeve), halaman 1
[3] UU
No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan dimuat dalam lembaran Negara tahun 1992 No.
31 dan Tambahan lembaran Negara No. 3472
[4] UU
No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan perundang-undangan dikutip dari lembaran
Negara tahun 2004 No. 53 sebagai di muat dalam
http://www.parlemen.net/site/docs/UU_NO_10_2004.pdf
[5] PP
No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum dikutip dari Lembaran Negara Tahun 1992 N0.
117 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3503
wow keren artikelnya.. jangan lupa kunjungi juga Kebijakan Kriminalisasi di Bidang Keuangan
BalasHapus